Oleh: Abdurrahman Wahid*
Ketika Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, KH. M. Hasyim Asy’ari dari
Tebuireng, Jombang, menanyakan siapa pendirinya. Mendengar jawaban KH. Ahmad
Dahlan, beliau ganti bertanya, adakah orang itu santri yang bersama beliau
mengaji pada KH. Sholeh Darat (Semarang)?
Ketika memperoleh kepastian bahwa KH. Ahmad Dahlan itu adalah orang yang
dimaksud tersebut, beliau mengatakan tentu Muhammadiyah organisasi yang baik,
karena tokoh pendiri tersebut adalah orang baik. Hal ini dapat kita benarkan,
kalau kita ikuti sejarah Muhammadiyah. Tekanan pada pendidikan, kesehatan dan
kegiatan-kegiatan sosial menunjukkan hal itu dengan nyata.
Hal ini jugalah yang tampak dari pergaulan KH. M Bisri Syansuri, ketika
beliau menjadi anggota PBNU, dan praktis menguasai Majlis-Majlis Hukum Agama
(Majaalis al-Figh) --sebelum beliau membawa pendapat-pendapatnya ke forum
tersebut, beliau selalu pergi ke Yogyakarta, untuk memperdebatkannya dengan
KH. Hadjid dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Terkadang mereka bisa
berdebat selama tiga hari berturut-turut dan terkadang pula mereka bersama
pergi ke rumah KH. Adzkiya di Kroya (Pak Tua Ir. Musthofa Zuhad, dari PBNU
sekarang) untuk maksud yang sama. Baru setelah itu, KH. M. Bisri Syansuri
memaparkan "pendapatnya" kepada forum-forum di atas, yaitu setelah
melalui "uji-coba" dengan kedua orang tersebut. Kelihatan sekali,
antara mereka tidak ada jarak yang harus dijembatani, karena perbedaan pendapat
di antara mereka adalah hal yang biasa, seperti perbedaan pendapat dengan
iparnya, KH. A. Wahab Chasbulah.
Penulis pernah tinggal selama tiga tahun (1954-1957) di rumah KH. M. Djunaidi
di Kauman, Yogyakarta. Di tempat itu,
penulis sering melihatnya berdebat sangat lama tentang soal-soal figh, dengan
tokoh NU KH. Ali Ma’sum dari Pondok Pesantren Krapyak, yang belakangan
menjadi Rais ‘Am PBNU. Padahal, induk semang penulis, KH. M. Djunaidi itu
belakangan menjadi anggota Majlis Tarjih (Dewan Agama) PP. Muhammadiyah. Di
sini, tampak jelas bagi penulis, adanya keakraban antara tokoh-tokoh puncak
NU dan Muhammadiyah tersebut.
*****
Pertanyaan utamanya adalah, kita melihat keakraban tersebutkah dalam menilai
hubungan Muhammadiyah dan NU, atau justru sebaliknya? Justru yang kita lihat
sehari-hari, sikap fanatik baik dari orang-orang NU maupun dari orang-orang
Muhammadiyah sendiri, hingga terkadang tampak sebagai pertentangan dan
perpecahan, bukannya sebagai perbedaan. Ini sangat diperlukan, karena tanpa
memperoleh jawaban yang tepat, perpecahan dalam tubuh kedua organisasi Islam
terbesar di negeri kita itu tampak semakin menjadi-jadi. Tentu ini tidak kita
inginkan, sehingga kalau memang benar-benar keduanya berpecah dan
bertentangan, hendaknya dapat diarahkan kepada perbedaan saja. Ini adalah
proses pendidikan yang berlangsung lama, namun tak dapat terhindarkan.
Salah satu sebab mengapa tampak yang terjadi adalah pertentangan, dan
bukannya perbedaan, adalah akibat tekanan kedua-duanya atas institusi atau
lembaga, dalam hal ini kedua organisasi tersebut. Tekanan pada kelembagaan,
membawakan keharusan untuk mempertahankan kepentingan/interest kedua
perkumpulan tersebut, yang masing-masing bertabrakan satu sama lain. Pihak
sendiri harus dimenangkan, dan pihak lain harus di"kalah"kan. Jadilah
seolah-olah mereka saling berhadapan, padahal dalam kenyataan mereka menganut
corak kehidupan yang sama yaitu mementingkan akhlak/moralitas/etika. Terkenal
dengan ucapan H. Munawir Sadzali, mantan menteri agama kita, bahwa di
Muhammadiyah ada orang NU bernama Ahmad Azhar Basyir (Ketua Umum PP.
Muhammadiyah saat itu, dan di lingkungan PBNU ada orang Muhammadiyah bernama
Abdurrahman Wahid), yang membawakan pembaharuan-pembaharuan.
Bahwa kedua perkumpulan itu memiliki persamaan-persamaan penting, jarang
sekali diingat. Pertama, kedua-duanya mengacu pada tujuan kemaslahatan umat,
yang dalam literatur kita umumnya disebut kesejahteraan rakyat. Pembukaan UUD
kita, yang dibuat antara lain oleh tokoh-tokoh kedua organisasi itu,
merumuskan hal itu sebagai masyarakat adil dan makmur. Jadi, tak benarlah
ungkapan salah seorang Kyai NU; al-hamdulilah, keluarga besar kita semuanya
beraqidah Islam, minimal Muhammadiyah. Menanggapi hal ini, Ahmad Azhar Basyir
memberikan komentar, di Muhammadiyah juga banyak orang yang menganggap NU
minimal.
*****
Aspek lain yang jarang dilihat orang, yakni perlakuan Keraton Hamengkubuanan
di Yogyakarta. Keraton tersebut "merangkul" kedua-duannya, dengan
menyantuni NU (melalui status "Masjid Pethok Nagari" di Mlangi dan
Wonokromo) serta tetap membiarkan KH. Ahmad Dahlan menjadi penghulu keraton
setelah mengadakan pembaharuan dengan mendirikan Muhammadiyah. Jadi, baik
tradisionalisme maupun pembaharuan sama-sama memperoleh santunan dari
keraton, yang sekarang bertambah dengan kebiasaan "semaan"
al-Qur’an yang dahulu dirintis oleh alm. Kyai Hamim Jazuli (Gus Mik).
Kedua hal yang berbeda itu, yakni tradisionalisme Nu dan pembaharuan
Muhammadiyah, seringkali melupakan kita. Dari sesuatu yang sangat penting:
Islamisasi terbatas/limited Islamization --yang, dirintis Sultan Agung
Hanyokro Kusumo, dengan pemakaian hukum-hukum nikah figh sebagai
"peraturan" di keraton dan pemakaian bulan Muharom sebagai
permulaan tahun Saka, ini dilanjutkan oleh pimpinan keraton.
Tentunya, ini harus memperhitungkan kenyataan bahwa --untuk beberapa dasa
warsa, cara kehidupan "sekuler" yang tidak mau tahu dengan ajaran
agama sempat menerapkan dominasinya atas masyarakat kita, termasuk keraton.
Dengan demikian jelaslah, bahwa keraton Hamengkubuanan memperlakukan
Muhammadiyah dan NU, sebagai sebuah budaya, dengan tidak mementingkan
institusinya. Ini adalah tindakan yang sangat bijaksana, yang sudah
sepatutnya ditiru dan dicontoh oleh para pimpinan kedua organisasi tersebut.
Dengan ungkapan lain, baik tradisionalisme NU maupun pembaharuan Muhammadiyah
haruslah diukur secara budaya, dan bukannya secara kelembagaan. Bukankah kini
anak-anak muda kedua belah pihak sering dihadapkan kepada tantangan budaya
modern yang menjauhkan mereka dari akar-akar budaya masa lampau? Bukankah ini
melupakan kita dari kenyataan adanya orang-orang Muhammadinu, yang seringkali
sudah tidak melihat relevansi pemisahan keduannya. Kalau saja kita menjadi
dewasa dalam hal ini, kita akan melihat keadaan NU dan Muhammadiyah, bukannya
pertentangan dan perpecahan antara keduanya.
Paso, 10/3/2002
*Penulis adalah ketua dewan syura DPP PKB
|
Posting Komentar