Islam sebagai agama yang diakui kebabsahannya oleh Tuhan adalah agama yang tidak luruh oleh
zaman. Artinya ia merupakan satu-satunya agama yang memiliki kebenaran mutlak yang
diturunkan oleh Allah. Ibn Katsir (pengarang tafsir Quranul 'Adhim) ketika mengomentari
surat Ali Imran 85 menyebutkan," Allah swt mengabarkan bahwa tidak ada agama yang diterima
di sisi-Nya selain agama Islam, dengan mengikuti para rasul dalam
pengutusannya pada setiap masa, sampai ditutup
oleh Nabi dan Rasul yang akhir Muhammad saw. Kemudian Allah menutup seluruh jalan kepada-
Nya kecuali dari sisi Muhammad saw. Dengan begitu, siapa pun yang bertemu dengan Allah
setelah diutusnya Muhammad saw dengan beragama selain syariat yang beliau bawa dan ajarkan,
maka tidak diterima agama tersebut darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/19, Maktabah
Taufiqiyah)
Ketika Nabi Muhammad datang dan dinobatkan sebagai nabi, maka ketika itu hilang pula
pengaruh agama terdahulu yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Dalam artian, semua manusia yang
dulunya menganut keyakinan berdasarkan pengajaran nabinya terdahulu maka harus merubah
keyakinanya. Perubahan keyakinan yang penulis maksud di sini hanya perubahan bentuk
syariat, itupun tidak secara menyuluruh. Dengan demikian, orang yang beragama selain agama
Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad, mereka inilah yang dikatakan orang kafir (diluar
Islam) dan mereka pula yang terkena konsekuensi hukum karena menentang perintah
Allah.(Abdurrahman bin Hammad, 1420 H) Karena percaya kepada nabi Muhammad pada hakikatnya
adalah mengikuti ajaran nabi terdahulu. Karena utusan sebelum Rasulullah telah diberitahu
akan kedatangan sang Nabi penutup; hal ini pula yang mendasari kenapa para ahl kitab
mengetahui ciri ciri nabi dan membuat mereka beriman.
Penulis tidak berapa yakin bahwa referensi yang berusaha penulis ajukan di atas mendapat
respon positif dari penganut paham pluralisme. Karena terhadap nash (teks) berbentuk
Qath'iy dilalah (absolutly) yang terdapat di dalam Alquran saja mereka berani melanggar,
konon lagi dengan teks dzanny (persangkaan kuat) ataupun pendapat ulama yang terpercaya
sekalipun.
Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dari pada
sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau
saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini. Ambil saja
sebagai contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan agar masing-masing saling
menerima karena masing-masing tidak lebih dari ungkapan religiositas manusia, dan kalau
begitu, tentu saja mengklaim kepenuhan kebenaran tidak masuk akal. Namun yang nyata-nyata
dituntut kaum pluralis adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam al- Qur’an
memberi petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia
selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya. Kaum pluralis mengklaim
bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri
tidak toleran (self- inconsistent) karena menafikan kebenaran ekslusif sebuah agama. Mereka
menafikan klaim "PALING BENAR SENSIRI" dalam suatu agama tertentu, tapi justru pada
kenyataannya kelompok pluralis-lah yang terjebak untuk menyebut dirinya paling benar
sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (religious statement). Namun jika
pluralisme yang dimaksud adalah toleransi, maka saya yakin agama Islam adalah agama yang
paling plural. Karena Islam sendiri erat kaitannya dengan toleransi.
Dalam Al-Quran sendiri Allah berulang kali baik secara jelas maupun eksplisit menyebutkan
bahwa Islam bukan agama yang anarkis, karena prinsip saling menghargai, tidak memaksa dalam
dakwah juga merupakan prinsip dasar dalam Islam. Namun bukan karena alasan toleransi agama
lain menjadi agama yang benar. Toleransi yang dianjurkan adalah menghargai keyakinan agama
lain dengan tidak menganggu gugat peribadatan mereka. Dapat kita bayangkan
sejauh mana nabi Muhammad mampu bertoleransi terhadap non-muslim ketika itu sehingga
toleransi sendiri menjadi metode dakwah yang membuat banyak orang simpati dan tertarik
untuk masuk Islam. Namun jika sekarang banyak teori yang coba mangaitkan toleransi dengan
peleburan akidah, maka ini sungguh jauh dari pemaknaan toleransi yang jama' kita ketahui
dalam Islam.
Saat ini yang timbul justru upaya menuju keseragaman (uniformity) atau menyeragamkan segala
perbedaan dan keberagaman agama. Dan ini bertentangan dengan sunnatullah yang pada
gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Hal ini dikarenakan, perbedaan
suku, ras dan agama adalah kodrat/fitrah dan memiliki hikmah yang dapat kita jangkau atau
tersembunyi. Perkembangan ilmu saat ini menunjukkan sebuah konsep berupa akal sebagai
sumber ilmu yang merupakan hasil dari kebingungan dan skeptisme. Di lain pihak, fungsi
Al-Quran dan Hadits (wahyu) telah dilenyapkan. Alhasil, paham seperti ini telah berhasil
menceraikan hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan.
Dengan metode keraguan (relativitas) mereka dengan beraninya menggugat teori ilmiah yang
telah ada, hal ini diperkuat dengan spekulasi filosofus yang terkait dengan kehidupan
sekular yang membuat ilmu, etika, moral, keagamaan berada dalam lingkup rasio seseorang dan
bisa terus berubah. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem
nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu,
namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang
masa. Jadi, Islam memiliki pandangan-hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan
ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis,
kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai
karena merelatifkan semua sistem akhlak (Naquib Al- Attas, 1993).
Alangkah baiknya jika saat ini kita kembali kepada framework tradisi keilmuan dalam Islam
yang telah menghasilkan kelompok ilmuan (ulama) yang berusaha tafaqquh fi ad-din (mendalami
agama) yang berobyek kepada wahyu dengan pemahaman luas dan kompleks. Dalil naqli (nash)
yang merupakan sumber orisinal tentang Islam tidak bisa dibanding bandingkan dengan akal.
Karena lawan dari akal adalah GILA bukan naql. Jadi akal hanya berfungsi untuk memahami
teks yang telah ada, tidak berada sebagai sumber terpisah dan tidak pula sederajat dengan
wahyu.
Wallahu a'lam
Home »
Pendapat Anda
» Menguak Kebobrokan Ideologi Pluralisme
Menguak Kebobrokan Ideologi Pluralisme
Written By fbmpppare on Selasa, 06 November 2012 | 05.20
Label:
Pendapat Anda
Posting Komentar