Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam kitab suci Al-Qur’an dinyatakan “Wa al ‘ashri inna al – insana la fi
khusrin illa al-ladzi na ‘amanu wa ‘amillu al-shaliathi wa tawashau bi alhaqi
wa tawa shau bi al-shabr” (Demi Masa, manusia selalu merugi, kecuali mereka
yang beriman, beramal sholeh, berpegang kepada kebenaran dan berpegang kepada
kesabaran). Ayat tersebut mengharuskan kita senantiasa menyerukan kebenaran
namun tanpa kehilangan kesabaran. Dengan kata lain, kebenaran barulah ada artinya,
kalau kita juga memiliki kesabaran. Kadangkala kebenaran itu baru dapat
ditegakkan secara bertahap, seperti halnya demokrasi. Di sinilah rasa
pentingnya arti kesabaran.
Demikian pula sikap pemaaf juga disebutkan sebagai tanda kebaikan seorang muslim.
Sebuah ayat menyatakan: “Apa yang mengenai diri kalian dari (sekian banyak)
musibah yang menimpa, (tidak lain merupakan) hal-hal berupa buah tangan kalian
sendiri. Dan (walaupun demikian) Allah memaafkan sebagian (besar) hal-hal itu.“
(Ma ashabakum min mushaibatin fa bima kashabat a’yidikum wa ya’fu ‘an
khatzirin). Firman Allah ini mengharuskan kita juga mudah memberikan maaf
kepada siapapun, sehingga sikap saling memaafkan adalah sesuatu yang secara
inherent menjadi sifat seorang muslim inilah yang diambil mendiang Mahatma
Gandhi sebagai muatan dalam sikap hidupnya yang menolak kekerasan (satyagraha),
yang terkenal itu. Sikap inilah yang kemudian diambil oleh mendiang Pendeta
Marthin Luther King Junior di Amerika. Dalam tahun-tahun 60-an, ketika ia memperjuangkan
hak-hak sipil (civil rights) di kawasan itu, yaitu agar warga kulit hitam
berhak memilih dalam pemilu.
Hal ini membuktikan, kesabaran dalam membawakan kebenaran adalah sifat utama
yang dipuji oleh sejarah. Dalam berbagai kesempatan para ksatria Pandawa yang
dengan sabar dibuang ke hutan untuk jangka waktu yang lama, sebagaimana
dituturkan oleh kisah perwayangan, juga merupakan contoh sebuah kesabaran.
Jadi, kesadaran akan perlunya kesabaran itu, memang sudah sejak lama menjadi
sifat manusia. Tanpa kesabaran, konflik yang terjadi akan dipenuhi oleh
kekerasan, sesuatu yang merugikan manusia sendiri. Ia tidak akan dipakai,
kecuali dalam keadaan tertentu, hal ini memang sering dilanggar oleh kaum
muslimin sendiri. Sudah waktunya kita kaum muslimin kembali kepada ayat di atas
dan mengambil kesabaran serta kesediaan memberi maaf, atas segala kejadian yang
menimpa diri kita sebagai hikmah.
****
Hiruk pikuk kehidupan, selalu penuh dengan godaan kepada kita untuk tidak
bersikap sabar dan mudah memberikan maaf. Dalam pandangan penulis, kedua hal
tersebut seharusnya selalu digunakan oleh kaum muslimin. Tetapi harus kita akui
dengan jujur, bahwa justru kesabaran itulah yang paling sulit ditegakkan dan
kalau kita tidak dapat bersabar bagaimana kita akan memberi maaf atas kesalahan
orang kepada kita? Karenanya, jelas bahwa antara keduanya terdapat hubungan
timbal balik yang sangat mendalam, walaupun tidak dapat dikatakan terjadi
hubungan kasualitas antara kesabaran dan kemampuan memaafkan kesalahan orang
lain pada diri kita.
Kita sebagai seorang muslim, mau tidak mau harus menyediakan keduanya sebagai
pegangan hidup baik secara kolektif maupun secara perorangan. Dari sinilah
dapat dimengerti, mengapa hikmah 1 Muharam 1424 Hijriyah ini sebaiknya tetap
ditekankan pada penciptaan kesabaran dan penumbuhan kemampuan untuk memberikan
maaf kepada orang yang dalam pandangan kita, berbuat salah kepada diri kita.
Bukankah kedua ayat kitab suci yang dikemukakan di atas, sudah cukup kuat dalam
mendorong kita membuat kesabaran dan kemampuan memaafkan kesalahan orang kepada
diri kita, sebagai hikmah yang kita petik di dari hari raya yang mulia
tersebut. Kedengarannya prinsip yang sederhana, tetapi sulit dikembangkan dalam
diri kita.
Namun, lain halnya dengan para politisi yang berinisiatif menyelenggarakan
Sidang Istimewa yang terakhir, dengan dasar “kebenaran” hasil penafsiran
politik masing-masing. Tindakan ini berarti melanggar Undang-Undang Dasar 1945,
karena tidak memiliki landasan hukum. Dengan “nafsu” politiknya –yaitu Presiden
harus lengser- mereka pun meninggalkan jalan permusyawaratan. Padahal, semua
persoalan yang melibatkan orang banyak harus dipecahkan dengan negosiasi,
seperti firman Allah: “Dan persoalan mereka harus lah di musyawarahkan oleh
mereka sendiri” (Wa Amruhum syura Bainahum). Terlihat selain melanggar
konstitusi, dalam hal ini mereka lah yang tidak dapat memaafkan. Sederhana
saja, walaupun rumit dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa dan negara ?
Jakarta,
20 Februari 2003
Home »
Pendapat Anda
» Bersabar dan Memberi Maaf
Bersabar dan Memberi Maaf
Written By fbmpppare on Selasa, 06 November 2012 | 06.27
Label:
Pendapat Anda
Posting Komentar